This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 18 Desember 2012

Kraton Jogja (kerjaan yang masih berjaya di Era Modern)

Keraton Yogyakarta
 
Kraton Ngayogyakarta yang sering disebut sebagai Kasultanan Ngayogyakarta berdiri pada tahun 1755. Bangunan Kraton ini dipagari beteng yang luas jaraknya sekitar 5 Km. Pada empat titik pojok bangunan beteng ada bangunan kecil dan disebut sebagai pojok beteng. Pintu masuk ke beteng Kraton melalui apa yang disebut sebagai plengkung. Di dalam bangunan beteng selain ada bangunan Kraton, tempat tinggal Raja, disekitarnya ada sejumlah kampung sebagai tempat bermukim penduduk, yang pada jaman dulu merupakan abdi dalem Kraton, namun pada perkembangan berikutnya, hingga sekarang, orang yang tinggal di dalam beteng Kraton tidak harus sebagai abdi dalem, tetapi bisa orang dari etnis lain, suku batak misalnya, yang bertempat tinggal di sana lantaran telah membeli tanah berikut bangunan rumah dari pemilik sebelumnya, atau, bisa juga kost atau kontrak di wilayah kecamatan Kraton di lingkungan, dalam istilah lokalnya, "njeron beteng" (dalam beteng). Jadi, pemukim yang tinggal di "njeron beteng" Kraton tidak selalu berkaitan dengan Kraton. Bisa sama sekali terpisah dan tak ada ikatan apapun, kecuali hanya bertempat tinggal karena telah membeli tanah berikut bangunan yang ada di "njeron beteng".
Nama-nama kampung di dalam "njeron beteng" mempunyai sejarahnya sendiri dan masing-masing berbeda. Ada baiknya kalau anda menikmati.
Silahkan, klik yang anda pilih dalam peta yang tersedia.
Tim : Sartono K, Agus P. Herjaka, Didit PD.


PRAJURIT KRATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada masa pemerintahan Hamengkubuwono I sekitar abad 17. Tepatnya pada tahun 1755 Masehi. Prajurit yang terdiri atas pasukan-pasukan infanteri dan kavaleri tersebut sudah mempergunakan senjata-senjata api yang berupa bedil dan meriam. Selama kurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, ini terbukti ketika Hamengkubuwono II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris dibawah pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812. Di dalam Babad menceritakan bahwa perlawanan dari pihak Hamengkubuwono II hebat sekali. Namun semenjak masa Pemerintahan Hamengkubuwono III kompeni Inggris membubarkan angkatan perang Kasultanan Yogykarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono III dan Raffles, dituliskan bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Dibawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris, keraton hanya boleh memiliki kesatuan-kesatuan bersenjata yang lemah dengan pembatasan jumlah personil. Sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melakukan gerakan militer. Maka sejak itu fungsi kesatuan-kesatuan bersenjata sebatas sebagai pengawal sultan dan penjaga keraton.
Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda kembali berkuasa pasukan-pasukan bersenjata yang sudah lemah tersebut makin dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara militer. Menurut catatan yang ada, semasa pemerintahan Hamengkubuwono VII sampai dengan masa pemerintahan Hamengkubuwono VIII yaitu antara tahun 1877 sampai dengan 1939 ada 13 kesatuan prajurit kraton yang meliputi: Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Langenastro, Surokarso dan Bugis.
Kesatuan SUMOATMOJO
Kesatuan KETANGGUNG

Kesatuan PATANGPULUH

Kesatuan WIROBROJO

Kesatuan JOGOKARYO

Kesatuan NYUTRO

Kesatuan DHAENG
Kesatuan JAGER

Kesatuan PRAWIROTOMO

Kesatuan MANTRIJERO
Kesatuan LANGENASTRO
Kesatuan SUROKARSO

Kesatuan BUGIS
Penutup: Sekarang Prajurit Kraton.
Pada tahun 1942 semua kesatuan bersenjata keraton Yogyakarta dibubarkan oleh pemerintahan Jepang. Tetapi mulai tahun 1970 kegiatan para prajurit keraton dihidupkan kembali. Dari ke tiga belas prajurit yang pernah ada baru sepuluh kesatuan atau bergada yang direkonstruksi dengan beberapa perubahan, baik dari pakaiannya, senjatanya maupun jumlah personil. (lihat foto-foto yang ditampilkan). Kesepuluh kesatuan prajurit tersebut yaitu: Prajurit Wirobrojo, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Mantrijero, Prajurit Prawirotomo, Prajurit Ketanggung, Prajurit Nyutro, Prajurit Surokarso dan Prajurit Bugis. Dewasa ini, kesepuluh kesatuan prajurit tersebut masih dapat dilihat oleh masyarakat umum paling tidak se tahun tiga kali, yaitu pada upacara Garebeg Mulud, Garebeg Besar dan Garebeg Syawal, di alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.. 
 
Taman Sari terletak tidak jauh dari kraton yang dulu digunakan sebagai tempat keluarga kerajaan bersantai dan mandi disana.

PANTAI PARANGTRITIS (pesona budaya yang masih nampak)

MENILIK KEELOKAN BUDAYA SERTA KEINDAHAN PANTAI PARANGTRITIS

Pantai Parangtritis merupakan salah satu pantai yang terkenal yang ada di Selatan Yogyakarta, dan merupakan pantai yang sudah dikenal di dunia internasional. Pantai Parngtritis berjarak +/- 27 kilometer dari kota Yogyakarta, dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dalam waktu 30 - 45 menit.



Pantai Parangtritis merupakan pantai yang landai dengan bukit-bukit kapur di sekitarnya, dimana Pantai Parangtritis juga merupakan salah objek wisata untuk dapat menikmati keindahan pada saat matahari terbenam (sunset) untuk meninggalkan kita.

Sambil melepas pemandangan penglihatan mata penulis di sekitar daerah pesisir Pantai Parangtritis dalam menikmati atmosfer gelombang kuat pantai selatan, merupakan bukti logis bahwa palung laut selatan Jawa yang menghadap Samudra Indonesia memang terasa ganas.

Teringat sebuah cerita legenda masyarakat Yogyakrta tentang cerita eksotis mistis penunggu pantai Selatan Nyai Rara Kidul, yang memiliki berbagai sebutan nama dari beberapa sumber
  1. Ricklefs (1974)  menyebutnya dengan nama seperti Retna Dewi, Prabu Rara Rat Jawi, Sang Retna, Prabu Kenya, Sang Dewi, Sang Retna Tanah Jawi, Sang Prabu Dewi, dan Prabu Rara Surya Dewati.
  2. Van Hien (1912) menyebutnya Rara Wudu, dan 
  3. Dra. Kalsum (dalam sebuah surat bertanggal 5 Juni 1990) dari sebuah cerita pengamalan perjalanan  Anasthasia R.Y.Sadrach memberi nama Nyi Gelereng Putih.
Dalam pengertian bahasa Jawa "Lara" dapat diartikan sakit. Lara dan  Parangtritis merupakan kosa kata bahasa yang selalu beiringan dalam ingatan masyarakat Indonesia, khususnya bagi orang-orang Jawa. Hal ini tentunya mengingatkan kita dalam kisah cerita Babad Tanah Jawa (abad ke-19).

Dimana seorang pangeran Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah sorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya.Namun, sang pertapa wanita itu ternyata adalah bibi dari Joko suruh, bernama Ratna Suwida, dan dia pun menolak cinta Joko Suruh yang merupakan keponakannya sendiri.

Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Di pergi menuju pantai Selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Dia berkata kepada pengeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Merapi, maka dia akan menikahi seluruh penguasa yang terletak di dekat Gunung Merapi, dia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.

Penembahan senopati merupakan generasi kedua pendiri Kerajaan Mataram kedua, yang mengasingkan diri ke Pantai Selatan untuk mengumpulkan seluruh energi dalam upaya mepersiapkan kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul yang berjanji akan membantunya.

Dalam kisahnya cerita legenda masyarakatnnya Penembahan Senopati mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, intrik-intri cinta istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini yang disebut Yogyakarta Selatan.Sejak saat itu, Ratu Kidul diyakini berhubungan ert dengan keturunan Senopati yang berkuasa dan sesajian selalu dipersembahkan untuknya di Pantai Parang Kusumo serta Parangtritis setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.

Seperti inilah kisah cerita legenda masyarakat Pantai Parangtritsi Yogyakarta mengenai Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan. Versi pertama diambil dari buku cerita Rakyat Yogyakarta dan versi kedua terdapat dalam Babad Tanah Jawi.

Tentunya hal ini membuat diri kita sebagian ada yang mempercayai dan juga ada yang tidak tentang kebenaran cerita dari Kanjeng Ratu Roro Kidul. Cerita ini sampai saat ini masih menjadi sebuah polemik ditengah-tengah masyarakat modern seperti sekarang ini. Terlepas cerita ini semua dari polemik atau tidak, ada fenomena yang nyata ditengah-tengah masyarakat Yogyakarta, bahwa cerita legenda mitos Ratu Roro Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta.

Masyarakat modern dewasa ini memiliki sikap dan tindakan yang sebagian besar dijiwai oleh kerasionalan dan tehnologi modern, tidak ada satu pun yang tidak di kaji dengan analisis, perencanaan, pengawasan dan tehnologi. Memang sulit untuk menyakini akan adanya kekuatan mitos itu sendiri. Namun, hubungan antara Keraton dengan Kanjeng Ratu Roro Kidul secara fakta tercantum dalam Babad Tanah Jawi.

Dalam kepercayaan dan keyakinan masyarakat Yogyakarta, pada saat mengunjungi Pantai Parangtritis Yogyakarta, sebaiknya kita dapat menghindari warna-warna pakaian yang konon menjadi suatu pentangan untuk dipergunakan di area Pantai Parangtritis. (Cerita ini penulis ketahui semenjak penulis masih usia sekolah dasar).

Mengingat pandangan dunia modern sekarang ini muncul dengan rasa rasional serta berdasarkan prosedur ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan, maka ada bainya penulis berpendapat agar kita semua untuk tidak terburu-buru mendakwahkan tentang "mitos" itu suatu yang tidak masuk akal dan harus dijauhkan.

Secara rasional, mungkin kita menolak kebenaran mitos, karena kita selalu menghubungkan efek dari mitos itu sendri hanya sebuah kebetulan belaka. Namun, bila hal ini menjadi suatu kebetulan mengapa  harus terjadi berulang-ulang yang kejadiannya sama persis ?

Diakui atau tidak, mitos secara langsung mendasari berbagai tindakan prilaku dan cara berpikir kita yang sering kita tidak sadari. Hal ini disebabkan kita lupa, bahwa sesuatu hal yang terjadi secara kebetulan merupakan suatu ketetapan hukum Tuhan yang diperlakukan Nya dalam kehidupan ini.

Dengan demikian, cerita legenda masyarakat tentang Kanjeng Roro Kidul di daerah Pantai Parangtritis Yogyakarta ini pun tidak bisa dikatakan tidak masuk akal. Karena Tuhan sudah memberitahukan kepada kita semua melalui kitab suci Nya. Dan semua cerita ini hanya dapat diterima atau tidak hanya dengan sebuah logika keimanan bukan dengan logika manusia saja tanpa diimbangi dengan logika keimanan.

Mitos merupakan suatu kepercayaa. Dan kepercayaan seperti itu tidaklah memaksa. Namun, mitos cerita tentang legenda masyarkat seperti  ini jauh berbeda dengan cerita agama yang memiliki landasan dasar yang kuat. Saran penulis agar kita tidak perlu meyakini mitos, karena sebuah mitos akan mendekatkan diri kita pada perbuatan syirik (menduakan Tuhan). Ada baiknya bila kita hanya sekedar cukup percaya dan menghormati tanpa harus meyakini. Agar kita tidak terjerat dalam permainan mitos itu sendiri.

Jumat, 14 Desember 2012

PASAR MALIOBORO

Malioboro Malioboro Malioboro

MALIOBORO

Alamat: Jl. Malioboro, Yogyakarta, Indonesia

Koordinat GPS: S7°47'34.9" E110°21'57.3" (lihat peta)
Berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga, Malioboro menjadi kembang yang pesonanya mampu menarik wisatawan. Tak hanya sarat kisah dan kenangan, Malioboro juga menjadi surga cinderamata di jantung Kota Jogja.

MALIOBORO
Menyusuri Jalan Karangan Bunga dan Surga Cinderamata di Jantung Kota Jogja

Matahari bersinar terik saat ribuan orang berdesak-desakan di sepanjang Jalan Malioboro. Mereka tidak hanya berdiri di trotoar namun meluber hingga badan jalan. Suasana begitu gaduh dan riuh. Tawa yang membuncah, jerit klakson mobil, alunan gamelan kaset, hingga teriakan pedagang yang menjajakan makanan dan mainan anak-anak berbaur menjadi satu. Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya rombongan kirab yang ditunggu pun muncul. Diawali oleh Bregada Prajurit Lombok Abang, iring-iringan kereta kencana mulai berjalan pelan. Kilatan blitz kamera dan gemuruh tepuk tangan menyambut saat pasangan pengantin lewat. Semua berdesakan ingin menyakasikan pasangan GKR Bendara dan KPH Yudhanegara yang terus melambaikan tangan dan menebarkan senyum ramah.
Itulah pemandangan yang terlihat saat rombongan kirab pawiwahan ageng putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X lewat dari Keraton Yogyakarta menuju Bangsal Kepatihan. Ribuan orang berjejalan memenuhi Jalan Malioboro yang membentang dari utara ke selatan. Dalam bahasa Sansekerta, malioboro berarti jalan karangan bunga karena pada zaman dulu ketika Keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga. Meski waktu terus bergulir dan jaman telah berubah, posisi Malioboro sebagai jalan utama tempat dilangsungkannya aneka kirab dan perayaan tidak pernah berubah. Hingga saat ini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Titik Nol masih menjadi tempat dilangsungkannya beragam karnaval mulai dari gelaran Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan masih banyak lainnya.

Malioboro
Sebelum berubah menjadi jalanan yang ramai, Malioboro hanyalah ruas jalan yang sepi dengan pohon asam tumbuh di kanan dan kirinya. Jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang hendak ke Keraton atau kompleks kawasan Indische pertama di Jogja seperti Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji Kecil (kawasan di sebelah Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung), maupun Loji Setan (Kantor DPRD). Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan serta adanya permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan lambat laun mendongkrak perekonomian di kawasan tersebut. Kelompok Tionghoa menjadikan Malioboro sebagai kanal bisnisnya, sehingga kawasan perdagangan yang awalnya berpusat di Beringharjo dan Pecinan akhirnya meluas ke arah utara hingga Stasiun Tugu.
Melihat Malioboro yang berkembang pesat menjadi denyut nadi perdagangan dan pusat belanja, seorang kawan berujar bahwa Malioboro merupakan baby talk dari "mari yok borong". Di Malioboro Anda bisa memborong aneka barang yang diinginkan mulai dari pernik cantik, cinderamata unik, batik klasik, emas dan permata hingga peralatan rumah tangga. Bagi penggemar cinderamata, Malioboro menjadi surga perburuan yang asyik. Berjalan kaki di bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh pedagang kaki lima akan menjadi pengalaman tersendiri. Aneka cinderamata buatan lokal seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan kunci semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar, barang-barang tersebut bisa dibawa pulang dengan harga yang terbilang murah.
Selain menjadi pusat perdagangan, jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi ini pernah menjadi sarang serta panggung pertunjukan para seniman Malioboro pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari mereka pulalah budaya duduk lesehan di trotoar dipopulerkan yang akhirnya mengakar dan sangat identik dengan Malioboro. Menikmati makan malam yang romantis di warung lesehan sembari mendengarkan pengamen jalanan mendendangkan lagu "Yogyakarta" milik Kla Project akan menjadi pengalaman yang sangat membekas di hati.
Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di tiap benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah pudar oleh jaman. Eksotisme Malioboro terus berpendar hingga kini dan menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali ke Yogyakarta. Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia karya Umbu Landu Paranggi "Cintalah yang membuat diriku betah sesekali bertahan", kenangan dan kecintaan banyak orang terhadap Malioboro lah yang membuat ruas jalan ini terus bertahan hingga kini.
Keterangan: Karnaval dan acara yang berlangsung di Kawasan Malioboro biasanya bersifat insidental dengan waktu pelaksanaan yang tidak menentu. Namun ada beberapa kegiatan yang rutin diselenggarakan setiap tahun seperti Jogja Java Carnival yang selalu dilaksanakan tiap bulan Oktober, Festival Kesenian Yogyakarta pada bulan Juni hingga Juli, serta Pekan Kebudayaan Tionghoa yang dilaksanakan berdekatan dengan perayaan tahun baru China (Imlek).

Jumat, 07 Desember 2012

Goa SELARONG

Gua Selarong adalah saksi sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro dan laskarnya yang digunakan sebagai markas gerilya melawan penjajahan Belanda. Dari area gua inilah Pangeran Diponegoro menyusun taktik dan berdiskusi dengan para pengikutnya dalam upaya melakukan serangan kepada Belanda. Selama bermarkas di Gua Selarong, laskar Pangeran Diponegoro telah diserang tiga kali oleh Belanda, yaitu pada tanggal 25 Juli, 3 Oktober, dan 4 Oktober 1825. Peperangan yang terjadi antara Laskar Pangeran Diponegoro dan Belanda itu dikenal dengan nama Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun, yaitu pada tahun 1825 - 1830.
Pangeran Diponegoro (1785 - 1855) adalah putra sulung Sultan Hamengkubowono III (1769-1814). Pangeran Diponegoro tidak berambisi untuk menjadi raja dan lebih memilih hidup merakyat dan tinggal di Desa Tegal Rejo. Karena dikepung Belanda pada tanggal 20 Juli 1825 di Desa Tegal Rejo, maka Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya kemudian menyingkir ke Gua Selarong.
Lokasi
Gua Selarong terletak di Dusun Kembang Putihan, Desa Guwosari Kecamatan Pajangan, Bantul, sekitar 14 km arah selatan Kota Yogyakarta. Untuk menuju ke sana, Anda sebaiknya berpatokan pada perempatan dongkelan (jalan lingkar selatan (ring road selatan) - jl Bantul). Pilihlah jalan ke arah selatan hingga sekitar 2 km Anda akan  menemukan gerbang desa wisata Kasongan. Masuklah ke arah barat melewati gerbang tersebut hingga 3-4 km sampai di perempatan Guwosari/ Pajangan.
Gua Selarong terletak di deretan pegunungan kapur yang sejuk karena ditumbuhi oleh pepohonan rindang. Dalam kompleks wisata Gua selarong ini terdapat sejumlah obyek wisata yang bisa Anda nikmati. Begitu masuk area wisata ini, Anda akan melihat hamparan luas sebuah pelataran yang juga digunakan sebagai area parkir. Di sini Anda juga akan menemukan sebuah patung Pangeran Diponegoro di atas kuda dan juga peta lokasi tempat wisata tersebut.
Untuk menuju lokasi Gua Selarong, ada sebuah jalan kecil dengan kondisi baik sejauh 200 meter yang harus Anda lewati hingga menemukan sebuah persimpangan. Arah kanan adalah lokasi Gua Selarong, arah kiri adalah lokasi ke dua sendang. Di daerah ini terdapat beberapa penjual buah khas daerah Selarong.
Perjalanan ke lokasi Gua Selarong dimulai dengan menaiki sejumlah anak tangga yang curam yang jumlahnya ada puluhan. Setelah mencapai puncak tangga, Anda akan menemukan dua buah gua kecil di sebelah kanan dan kiri tangga. Gua yang berada di sebelah kanan tangga bernama Gua Putri. Gua ini dahulu kala merupakan tempat beristirahat Raden Ayu Ratnaningsih, istri Pangeran Diponegoro. Sedangkan di sebelah kiri tangga terdapat gua bernama Gua Kakung atau berarti Gua laki-laki. Gua ini adalah tempat istirahat Pangeran Diponegoro. Dua buah gua ini berukuran kecil, dengan tinggi dan kedalaman gua sekitar 1,5 meter. Lebar Gua Putri lebih panjang daripada Gua Kakung, yaitu sekitar tiga meter. Sedangkan lebar Gua Kakung adalah sekitar dua meter. Masih di pelataran dua buah gua ini, Anda juga bisa melihat pemandangan dari sebuah gardu pandang sekitar atau untuk melihat air terjun yang juga berada di area obyek wisata tersebut.
Selain gua, Anda juga bisa mengunjungi sebuah sumber air yang bernama Sendang Manik Maya. Untuk menuju sendang ini, Anda harus melewati jembatan kecil di atas kali kering yang merupakan tempat mengalirnya limpahan air terjun di saat hujan. Selain itu Anda juga harus berjalan kaki melewati jalan setapak sejauh kurang lebih 100 meter untuk sampai ke sendang. Sendang ini diyakini sebagai sumber mata air abadi yang dahulu digunakan oleh rombongan Pangeran Diponegoro untuk mandi dan bersuci. Tidak jauh dari Sendang Manik Maya, terdapat sebuah sumber mata air lainnya yang dikenal dengan nama Sendang Umbul Mulya. Sendang ini merupakan mata air untuk memasak dan mencuci.





Gua Selarong juga dikenal sebagai obyek wisata religius. Para pelaku wisata religius biasanya melakukan ritual meditasi di Gua Selarong. Selain itu Gua Selarong juga menjadi tempat wisata budaya. Setiap satu tahun sekali di bulan Juli di Gua Selarong diadakan acara Grebeg Gua Selarong untuk mengenang waktu hijrahnya Pangeran Diponegoro ke Gua Selarong sekaligus sebagai peringatan hari jadi Kabupaten Bantul.
Tiket
Tiket masuk Obyek wisata Gua Selarong adalah Rp.2000,-/ orang dan ditambah tariff parkir. Tidak ada tambahan biaya lagi untuk menikmati obyek wisata ini, misalnya untuk memotret. (tahun 2011).

Minggu, 02 Desember 2012

DESA KERAJIANA KULIT MANDING

Sentra Kerajinan Kulit Desa Manding, Sediakan Berbagai Macam Aksesoris Kulit

Aksesoris berbahan dasar kulit memang digandrungi oleh banyak orang. Jogja yang menjadi daerah sarat dengan barang kerajianan tentu saja mempunyai sentra kerajinan kulit sendiri. Jogja memiliki beberapa daerah yang menjadi sentra kerajinan kulit, di antaranya Pucung, Bantul sebagai sentra kerajinan wayang kulit dan Manding, tepatnya Desa Sabdodadi, Bantul sebagai pusat aksesoris dari berbahan dasar kulit.
Tak kalah dengan Cibaduyut di Bandung dan Tanggulangin di Jawa Timur yang juga sebagai daerah sentra aksesoris dari kulit, di Manding kita bisa menemukan banyak toko kerajinan kulit di sebelah kanan-kiri jalan. Untuk bisa mencapai pusat aksesoris kulit ini, ikuti saja Jl. Parangtritis, keluar dari Ringroad, setelah traffic light ke-2 belok ke kanan. Nah, silakan memilih toko mana yang diminati.

Aksesoris yang ditawarkan di daerah ini antara lain dompet, sepatu, tas, sabuk, jaket, dan souvenir-souvenir berbahan kulit sesuai pesanan. Kebanyakan aksesoris di daerah ini berasal dari kulit sapi dan masih diproduksi secara rumahan, seperti dalam proses memola, menggunting dan menjahit. Dengan mempekerjakan beberapa orang karyawan, pengrajin mampu membuka toko dan menjual sendiri barangnya. Tak heran jika sepanjang jalan, hampir semua rumah berfungsi sebagai showroom juga.
Daerah ini menjadi salah satu tujuan wisatawan yang berkunjung ke daerah Bantul, sekaligus sekedar mencari oleh-oleh untuk keluarga. Selain itu juga banyak masyarakat Jogja yang memilih Manding sebagi tempat untuk membeli sepatu, terutama sepatu kerja, karena selain harga yang terjangkau, kualitasnya juga tidak mengecewakan.
Berbagai aksesoris kulit sapi ini dijual dengan harga yang beragam, mulai Rp 10.000-an hingga ratusan ribu. Sedangkan untuk desain, selain membeli yang sudah ada, kita juga bisa memesannya sesuai keinginan. Tak hanya dipasarkan di showroom di Manding dan di berbagai wilayah Jogja, aksesoris dari kulit sapi ini telah mampu menembus pasar luar Jogja seperti Jakarta, Solo, Semarang dan Bali, bahkan diekspor hingga ke Australia.
Setelah gempa, para pengrajin di desa ini membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa membangun usahanya lagi. Selain karena banyak peralatan yang tertimpa reruntuhan, biaya untuk memeperbaiki peralatan juga cukup besar. Oleh karena itu, hingga kini, pengrajin belum mampu berproduksi seutuhnya seperti sebelum gempa.

Para pengrajin kulit sapi ini mempunyai paguyuban, salah satunya Paguyuban Setyo Rukun yang menaungi lebih dari 30 pengrajin. Paguyuban ini turut serta membantu dalam meningkatkan pemasaran dan produksi para pengrajin, diantaranya dengan melayani simpan pinjam.
Seiring dengan ketatnya persaingan, produksi aksesoris kulit Manding ini sedikit tergeser dengan banyaknya barang impor yang masuk. Ini membuat kerajinan kulit ini menjadi kehilangan pasar. Untuk mencoba mengatasi permasalahan tersebut, paguyuban ikut mendukung terutama dalam peningkatan kualitas barang dan berbagai inovasi kerajinan dan aksesoris dari kulit sapi tersebut




PASAR SENI GABUSAN
















KABUPATEN BANTUL bakal mengukir sejarah baru. Sebuah lokasi di Jalan Parangtritis km.9,GABUSAN namanya, kini sudah dikembangkan dan sedang dirancang sebagai kawasan yang akan menghantar Perajin dan Pengusaha Kerajinan MENEMBUS PASAR DUNIA.





 Seiring dengan kesiapannya mengakomodasi bisnis kerajinan itu, Gabusan juga sudah dirancang secara matang sebagai Pusat Rekreasi Baru Kawasan Selatan. Gabusan pada gilirannya nanti adalah sebuah kenyamanan bagi wisman, wisnus, dan keluarga yang bertempat tinggal di Bantul, Jogjakarta dan sekitarnya.

Karena dirancang untuk mengakomodasi keluarga, maka aspek rekreatif-edukatif pun dikemas pula dengan daya tarik baru, berupa atraksi teknologi air.Di kawasan Gabusan ini pula sudah dirancang sebuah Layanan Perdagangan Internasional melalui Pelayanan Ekspedisi Ekspor-Impor On The Spot. Dengan demikian, secara bertahap, sekitar 8.015 unit usaha kerajinan yang berkembang di seantero Bantul dapat melakukan kontak bisnis secara langsung dengan buyers mancanegara maupun wisatawan Indonesia. Buyers maupun wisatawan mungkin hanya satu dua kali datang ke Gabusan. Itu tak masalah. Kontak-kontak berikutnya tersedia dalam bentuk layanan linkage global melalui Networking dan Pelayanan Teknologi Informasi.



Dengan terbukanya mata rantai komunikasi global ini diharapkan dapat merangsang pengembangan kreativitas para perajin dan pengusaha kerajinan berbasis tradisional yang menjadi kekuatan perekonomian Kabupaten Bantul. Melalui layanan teknologi informasi ini, masyarakat produktif di Bantul akan selalu mengikuti perkembangan dan permintaan pasar.

Sebagai kawasan yang dirancang "hidup" sepanjang hari dari pagi hingga malam hari diperlukan sebuah daya tarik utama bagi siapapun yang melewati Kawasan Pasar Seni Kerajinan Gabusan ini. Gerbang Pasar Seni yang dirancang sedemikian menarik akan berfungsi sebagai pemikat utama.

Di Gerbang ini tersedia fasilitas Resto, Tempat Penyeberangan dan Ramp. Dari tempat penyeberangan itu pengunjung Gabusan dapat makan minum sambil menikmati pemandangan kawasan Gabusan dari atas.

Guna mencerminkan Gabusan sebagai Kawasan Bisnis dan Rekreatif bersifat internasional namun tetap berbasis pengembangan ekonomi kerakyatan, akan dibangun Ruko Artistik. Deretan ruko ini merupakan daya tarik awal bagi wisatawan, bahkan akan menjadi daya tarik harian

Ruko ini didesain partisipatif. Artinya, dalam pembuatannya melibatkan sejumlah arsitek Jogja, nasional dan internasional. Pada ruko yang didesain 'mendunia' itu terdapat fasilitas yang berfungsi sebagai pusat informasi pasar seni. Di sini tersedia Layanan Teknologi Informasi, Warnet dan lain-lain, dan dilengkapi pula dengan toko-toko kebutuhan sehari-hari seperti apotek, dan toko kelontong. Ruko Artistik ini diperkirakan akan menjadi salah satu titik tujuan yang akan 'menahan' cukup lama para pengunjung Gabusan. Karenanya, di Ruko ini akan digelar satu pendukung, yakni "Pamer Unggulan Craft".

Sabtu, 01 Desember 2012

DESA WISATA BATIK KAYU KREBET


Desa Wisata Kerajinan Batik Kayu “ Krebet ” terletak di Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, kurang lebih 12 km Barat Daya Kota Yogyakarta, berdekatan dengan lokasi Obyek Wisata Goa Selarong. Di desa wisata ini wisatawan bisa tinggal di homestay yang jauh dari hirukpikuk kota dan menyaksikan kehidupan keseharian masyarakat penghasil kerajinan batik kayu ini. Berbagai produk kerajinan batik kayu yang unik seperti topeng, tempat perhiasan, macam-macam patung binatang
(jerapah, kucing, musang dan angsa), sandal, wayang orang kayu, wayang klitikan, dan lain sebagainya dapat dibeli dengan harga murah di sini. Harganya mulai 2 ribu - 300 ribu, tergantung pesanan dan bahannya. Contohnya, topeng, harganya berkisar 2 ribu - 30 ribu (tergantung besar kecilnya barang). Untuk souvenir, misalnya pernikahan, harga persatuannya Rp 2.000-2.500. Souvenir berbentuk, gantungan kunci, kaca/pengilon dan pembatas buku.
Hal menarik lainnya yang bisa dilakukan wisatawan di sini adalah belajar membatik wayang dari kayu. Membatik dengan media wayang kayu tentu akan memberikan sensasi yang berbeda. Proses membatik dengan media ini tentu akan lebih membutuhkan ketelitian sebab polanya secara otomatis dibuat manual, tidak dicetak seperti ketika membatik dengan media kain. Sensasi lain, motif yang dipelajari selama belajar membuat wayang batik di dusun ini adalah motif klasik Kraton, seperti parangrusak, parangbarong, kawung, garuda, sidomukti, sidorahayu dan puluhan motif lain. Karena motif itulah, kerajinan wayang batik di dusun ini terkenal dan diminati di pasar mancanegara.
Selain belajar membatik wayang dari kayu, wisatawan juga bisa berlatih memanjat pohon kelapa dan mengambil nira yang biasa digunakan sebagai bahan baku gula merah. Wiatawan juga bisa mendapatkan paket tur keliling hutan jati dengan menggunakan jeep. Saat lelah, wisatawan bisa menikmati hidangan khas dusun tersebut, berupa sayur lodeh, gudeg manggar, tempe garit, peyek serta wedang legen.
Batik Kayu

Batik lazimnya ditorehkan di atas kain, namun para pengrajin di Dusun Krebet, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul telah mengembangkan batik menggunakan media kayu. Topeng kayu, miniatur binatang, dan pernik hiasan lainya dihiasi motif-motif batik dengan proses layaknya membatik di atas kain. Jenis kayu yang digunakan sebagai bahan dasar adalah kayu lunak diantaranya sengon, pule dan mahoni.


Kerajinan batik kayu ini menjadi icon dusun Krebet dan menjadi tulang punggung ekonomi. Menurut pengakuan Kemiskidi pemilik galeri kerajinan batik kayu Sanggar Peni yang juga kepala dusun (RW) setempat, setiap bulannya para pengrajin omsetnya mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Batik kayu Krebet tidak hanya dipasarkan di dalam negeri seperti Bali, Jakarta, dan Surabaya namun telah menembus pasar mancanegara di Asia, Eropa dan timur tengah.
Dusun yang terletak di pegunungan tandus sekitar 20 km dari Kota Yogyakarta ini sering diimbuhi embel-embel desa wisata, ya,, karena di daerah ini menyimpan potensi wisata. Setiap tahun digelar tradisi merti dusun dengan mengarak gunungan dan berbagai ubo-rampenya keliling dusun, seperti yang dilaksanakan Sabtu, 23 Maret 2007 lalu.
Di Krebet juga disediakan fasilitas home stay bagi yang ingin menginap dan merasakan atmosfer pedesaan, jauh dari hiruk-pikuk kota. Menurut kepala desa setempat Sapto Sarosa, beberapa waktu lalu sejumlah turis dari Jepang menginap di sini, selain tertarik dengan kerajinan batik kayu, mereka menyukai suasana alami di Krebet.
Asal-usul Desa Wisata Krebet
Dahulu pedusunan Krebet merupakan bentangan hutan yang berada di atas bukit Slarong, dan belum memungkinkan untuk dijadikan tempat pemukiman penduduk. Sedangkan tumbuhan yang kemungkinan hanya tumbuhan semak-semak perdu dan beberapa kayu yang pada waktu itu tidak berharga.
Lama-kelamaan dari masyarakat seberang timur dan barat mencoba membuka hutan tersebut untuk pertanian. Salah satu contoh dari keturunan warga Mangir pada waktu itu mangir bedhah, kebanyakan warga menjadi bubar  menyebar ke arah utara di sekitar Triwidadi dan Sedayu. Kemudian salah satu nenek moyang kita adalah nenek Kasem yang mencoba membuka hutan diperbukitan Slarong tersebut.
Untuk menyebut tempat yang didatangi setiap hari atau supaya mudah bila ada pertanyaan dari tetangga dimana beliau menggarap ladang, membuka lahan di dusun ini ada tumbuhan terbesar dan mudah dipandang maka menyebut hutan tersebut adalah pohon Krebet yang masih ada di perempatan dekat dengan Sanggar Punokawan dan di Sendang Tirto Waluyo.
Sampai sekarang masyarakat Triwidadi menyebut dusun Krebet masih dengan sebutan “Ngalas” dari kata alas yang berarti hutan. Kedatangan orang – orang tersebut untuk menggarap tanah untuk pertanian. Jadi pada waktu itu pertanian jadi andalan. Tanaman yang berada pada waktu itu kebanyakan berupa polowijo, polo kapendhem, polo gumantung, dan polo kasimpar. Buah andalan untuk sampingan pada waktu itu adalah jambu kluthuk. Dalam perkiraan sampai sekarang lebih 6 keturunan kehidupan pencaharian sudah banyak percobaan.
Dari pertanian kemudian sampai kerajinan hingga sekarang, kehidupan perubahan pencarian dalam kurun waktu yang kurang jelas. Hasil pertanian dijual kepasar terdekat pada waktu itu Pasar Negoro (Beringharjo). Pasar yang lebih dekat yaitu Pasar Bantul dan pasar “adang – adangan” di tepi jalan menuju jalan besar dengan transportasi jalan kaki.
Karena pertanian sifatnya musiman dan hanya mengandalkan pengairan tadah hujan sebagian warga sudah bisa membuat kerajinan yang berupa alat rumah tangga seperti gayung air dari tempurung kelapa (siwar), sendok sayur (irus), takaran beras (beruk), tempat minum jamu (cawik), dan sampai sekarang masih ada yang melestarikan.
Sewaktu bumi Krebet ini masih banyak ragam tanaman pernah masyarakat Krebet ini membuat tunun bagor. Tenun Bagor terbuat dari daun gebang yang namanya “agel”. Kerajinan ini sebatas sebagai kantong barang. Punahnya ini karena terdesak kantong bagor plastik.
Kembali awal asalmuasal hutan Krebet sebutan dengan menyebutkan salah satu pohon sebagai bahasa sekarang maskot, maka dusun tersebut dinamakan Dukuh Krebet sebab pada waktu itu banyak warga dari daerah sekitar kota Bantul yang kemungkinan dulu Bantul masih Kademangan banyak yang dedukuh di Bukit Slarong.
Contoh – contoh dusun sekitar Krebet juga menggunakan nama tumbuhan. Sebagai contoh Pringgading (Bambu Kuning), Dadapbong, Serut,  Kalinongko, Kalibogor, Petung (Bambu Petung), Cikat Papat. Ini semua pasti untuk mengambil nama dengan maskot tumbuhan yang paling gampang dimengerti pada waktu itu.
Kehidupan mereka mayoritas bertani. Dalam dedukuh mereka, meraka banyak menjodohkan keturunannya sampai beranak – pianak yang sampai kini keturunan dari warga Krebetpun sudah berpencar sampai kepulau luar jawa, contoh Sumatra. Setelah adanya pemerintahan yang menginventaris dusun ngadusun maka dusun tercinta kita ini dinamakan Dukuh Krebet. Orang tua dulu mengatakan jaman perubahan status tanah, kalau dulu namanya kata orang tua Klangsir dan tanah harus dipajak.
Kita lanjutkan kehidupan masyarakat Krebet yang bertani, pengrajin, yang bertani karena kepemilikan tanah luas yang pengrajin karena tanah pertanian sedikit namun karena struktur tanah makin kehilangan kesuburan maka sebagian beliau beralih ke pengrajin.
Sedangkan jambu kluthuk yang dahulu menjadi buah andalan diperbukitan Slarong hilang lebur karena sementara dulu Jambu Kluthuk harga bersaing dengan jambu kluthuk jenis bangkok.
Pemuda –pemuda Krebet pada tahun 80-an meniru jejak Bapak Gunjiar mencoba untuk beralih ke kerajinan. Tahapan kerajinan dari seni topeng hingga kini menjadi bermacam-macam jenis menurut pemesan atau pesanan konsumen, hingga sekarang menjadi andalan kayu batik.
Tetap melekat sampai sekarang acara-acara ritual budaya peninggalan nenek moyang yang sebagian juga warisan budaya itu adalah warisan dari para raja sebagai sumbernya, tapi juga memang dari tradisi nenek moyang yang sekarang masih dilestarikan. Contoh bersih dusun, suran, Ruwahan, Selikuran. Sampai saat ini istilah “buangan” yang dikemas sebagai rebutan oleh anak-anak diperempatan dan bekas Planggrok selatan rumah kepala Dukuh dan Jurang Pulosari di Jurug. Kata orang apabila hewan piaraan si penunggu Kedhung disitu melepas merpati di waktu malam pertanda akan banyak orang yang makin sakit. Tapi itu Wallahu’allam, boleh percaya boleh tidak.
Untuk sekarang yang namanya kebun jambu kluthuk tinggal cerita kepada anak-anak sekarang sebab tumbuhan jambu sudah berganti tumbuhan asam, jati, akasia, sebagian mahoni yang hasilnya menanti sampai kayunya besar-besar.
Keadaan Geografis Desa Wisata Kebet
Dusun Krebet terletak di Desa Sendangsari, Kecamatan pajangan, kabupaten Bantul, Yogyakarta, dan secara geografis terletak di Bukit Selarong di ujung utara Kecamatan Pajangan yang berbatasan dengan Desa Guwosari, Triwidadi dan Bangunjiwo.
Dusun Krebet berpenduduk ±800 Jiwa dengan luas wilayah ±104 Ha. dan terbagi atas Lima (5) Rukun Tetangga (RT) yang berupa tanah kapur dan terdiri atas tegalan dan pekarangan yang membentang dari RT 01 sampai RT 05.
Peta Menuju Krebet
http://krebet.com/images/stories/peta.jpg